PENTINGNYA BUDAYA POSITIF DI SEKOLAH
Oleh Saeful Muhdorotul Anwar
Calon Guru Penggerak Angkatan 11
Kabupaten Situbondo
Menurut Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan merupakan proses menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia, maupun anggota masyarakat. Untuk dapat menciptakan keselamatan dan kebahagiaan murid hendaknya seorang guru memiliki kemampuan dalam menciptakan budaya positif di sekolah. Budaya Positif merupakan suatu keadaan dimana seluruh ekosistem sekolah dapat menjalankan konsep - konsep Disiplin Positif sehingga murid dapat belajar dengan nyaman dan aman sehingga mereka dapat menumbuhkembangkan potensi yang dimilikinya sesuai dengan kodrat alam dan kodrat zamannya. Konsep - konsep disiplin positif mencakup Posisi Kontrol Diri, Motivasi Perilaku Manusia, Kebutuhan Dasar Manusia, Posisi Kontrol Guru, Keyakinan Kelas dan Segitiga Restitusi.
Sebagai seorang guru, Kata Disiplin sudah sering kita dengar di kegiatan sekolah. Disiplin sering kita maknai sebagai aturan yang harus dilakukan oleh seluruh warga sekolah termasuk murid agar mereka patuh terhadap aturan yang telah dibuat dan kita cenderung menghubungkan kata ‘disiplin’ dengan ketidaknyamanan. Kata Disiplin berasal dari bahasa Latin, ‘disciplina’, yang artinya belajar. Ki Hadjar Dewantara memaknai disiplin sebagai self discipline yaitu kita sendiri yang mewajibkan kita dengan sekeras-kerasnya untuk mengatur diri kita. Artinya bahwa setiap perilaku yang kita lakukan merupakan buah dari keniatan diri sendiri bukan hasil dorongan orang lain. Disiplin diri membuat orang menggali potensinya menuju sebuah tujuan,apa yang dia hargai.
Selama ini kita sebagai seorang guru beranggapan bahwa kita harus mendisiplinkan murid kita agar mereka memiliki perilaku yang sesuai dengan apa yang kita harapkan. Jika dikaitkan dengan teori kontrol yang dikembangkan oleh Diane Gossen dalam bukunya Restructuring School Discipline itu hanyalah merupakan ilusi. Guru tidak dapat mengontrol perilaku murid namun hanya muridlah yang mampu mengontrol dirinya sendiri terhadap perilaku yang dilakukannya karena adanya dorongan dari dalam dirinya sendiri (motivasi internal). Gossen membagi motivasi perilaku manusia menjadi tiga yaitu:
1) Untuk menghindari ketidaknyamanan atau hukuman,
2) Untuk mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain,
3) Untuk menjadi orang yang mereka inginkan sesuai dengan nilai-nilai yang diyakini.
Patut kita sadari bersama bahwa ketika murid kita melakukan perilaku yang tidak sesuai dengan harapan kita, kita seringkali memberikan hukuman ataupun imbalan kepada murid kita agar mereka bisa patuh terhadap aturan yang sudah dibuat. Tindakan pendisiplinan dengan melakukan hukuman atau pemberian imbalan ini bisa dikatakan sebagai pemberian dorongan atau motivasi dari luar (motivasi eksternal). Pemberian motivasi eksternal kepada murid biasanya bersifat sementara atau tidak bertahan lama. Barangkali dengan pemberian hukuman atau pemberian imbalan murid kita bisa patuh terhadap apa yang kita harapkan, namun Perlu kita sadari kepatuhan yang ditunjukkan oleh murid kita tersebut hanya bersifat sementara dan bahkan dapat diulangi kembali sehingga Hal ini justru tidak dapat mengubah karakter murid menjadi lebih kuat.
Pada dasarnya perilaku murid yang tidak sesuai dengan harapan kita (guru) bukan berarti mereka tidak patuh akan tetapi didasari atas adanya tujuan untuk memenuhi kebutuhan. Ketika murid kita memperlihatkan perilaku yang dianggap menyimpang oleh kita sesungguhnya mereka sedang memenuhi kebutuhan diri yang belum terpenuhi, artinya bahwa kesalahan yang dilakukan oleh murid kita pasti memiliki alasan. Menurut teori kontrol bahwa ketika seseorang melakukan pelanggaran itu semata-mata mereka sedang memenuhi kebutuhan dasar yang mereka belum miliki. Ada lima Kebutuhan dasar Manusia yaitu:
1) Kebutuhan bertahan hidup
2) Kebutuhan mendapatkan Kasih sayang dan rasa ingin diterima
3) Kebutuhan penguasaan
4) Kebutuhan kebebasan
5) Kebutuhan bertahan hidup
Glasser menyatakan bahwa kapasitas kapasitas untuk berubah ada di dalam diri kita. Jika kita dapat mengidentifikasi kebutuhan apa yang mendorong perilaku kita, Maka perubahan perilaku positif dapat dicari dengan mencapai solusi untuk memenuhi kebutuhan tertentu dengan cara yang positif.
Ketika seorang guru sudah memahami Hal di atas, rasa-rasanya tidak akan melakukan hukuman atau memberikan imbalan (pemberian motivasi eksternal) terhadap murid yang melakukan kesalahan, namun guru tersebut akan melakukan komunikasi yang baik dengan murid agar murid dapat menjadi orang yang mereka inginkan sesuai dengan nilai-nilai yang diyakini (pemberian motivasi internal). Pemberian motivasi internal tidak bersifat sementara tetapi dapat berjangka lama serta mampu membuat karakter positif siswa menjadi semakin kuat. Hal ini sejalan dengan pemikiran Ki Hadjar Dewantara yang telah disampaikan pada alenia sebelumnya bahwa disiplin kepada murid adalah disiplin diri (self discipline), karena hanya diri muridlah yang mampu mengontrol dirinya sendiri bukan kita (guru) ataupun orang lain. Jika murid belum bisa mengontrol dirinya untuk melakukan perubahan positif, menurut Ki Hadjar Dewantara kita boleh menerapkan disiplin kepada murid hanya saja kita harus memberikan situasi yang merdeka bukan keterpaksaan. Dengan kata lain murid sendirilah yang berinisiatif menginginkan adanya perubahan positif pada dirinya untuk menaati keyakinan yang mereka miliki mengenai nilai - nilai kebajikan universal.
Dalam mewujudkan murid agar selalu menjalankan nilai-nilai kebajikan universal seorang guru harus memahami lima posisi kontrol guru dalam menangani murid yang melakukan kesalahan, lima posisi kontrol tersebut yaitu:
1) Guru sebagai Penghukum
2) Guru sebagai Pembuat Rasa Bersalah
3) Guru sebagai Teman
4) Guru sebagai Pemantau
5) Guru sebagai Manajer
Agar dapat mewujudkan murid yang memiliki keyakinan nilai-nilai kebajikan universal hendaknya seorang guru memposisikan dirinya sebagai manajer. Keyakinan nilai-nilai kebajikan universal dapat dibuat oleh guru bersama siswa didalam kelas dan biasa dinamakan sebagai keyakinan kelas. Nilai-nilai yang diyakini, akan membuat seseorang memiliki motivasi internal. Dengan begitu, murid tidak akan sekedar menjalankan peraturan, melainkan yakin bahwa apa yang dilakukannya adalah benar untuk keselamatan dan kebahagiaan hidupnya. Keyakinan kelas hendaknya di bentuk dari peraturan yang bersifat konkret, menggunakan kalimat positif, tidak terlalu banyak serta mudah dipahami oleh murid sehingga dengan demikian murid akan mudah untuk menerapkannya.
Keinginan untuk mewujudkan keyakinan kelas yang berisi nilai-nilai kebajikan akan datang dari murid melalui motivasi internal yang dapat diwujudkan oleh guru ketika guru memposisikan dirinya sebagai manajer. Posisi manajer akan membuat guru tidak langsung menghukum muridnya jika murid tersebut melakukan kesalahan namun posisi ini dapat membuat guru lebih bersikap bijakasana jika menangani murid yang bermasalah. Pada posisi Manajer, guru akan mengembalikan tanggung jawab pada murid untuk mencari jalan keluar permasalahannya, tentu dengan bimbingan guru. Pada posisi ini guru akan menggunakan restitusi, restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki kesalahan mereka, sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka, dengan karakter yang lebih kuat. Restitusi juga merupakan proses kolaboratif yang mengajarkan murid untuk mencari solusi untuk masalah mereka, dan membantu murid berpikir tentang orang seperti apa yang mereka ingin menjadi (tujuan mulia), dan bagaimana mereka harus memperlakukan orang lain (Gossen; 2004). Di dalam posisi ini, sikap guru ketika menangani murid yang melakukan kesalahan tidak langsung menghukum atau menghakimi, namun diawali dengan sikap memahami tindakan murid bahwa ketika murid bersalah itu biasa karena memang setiap manusia pasti pernah melakukan kesalahan (Menstabilkan Identias). Setelah menstabilkan identitas guru juga mencoba memahami alasan atau kebutuhan dasar apa yang ingin dipenuhi murid dengan perilakunya tersebut (Validasi Tindakan yang salah). Langkah selanjutnya murid diingatkan tentang keyakinan kelas yang sudah dibuat dan disepakati yang dilakukan dengan mengajukan pertanyaan tentang bagaimana seharusnya sikap mereka menurut keyakinan kelas yang jawabannya datang dari diri murid sendiri. langkah terakhir adalah mengajukan pertanyaan tentang solusi terbaik apa yang menurut murid tersebut sesuai berdasarkan keyakinan kelas yang sudah dibuat (menanyakan keyakinan). Saat melakukan restitusi seorang manajer tidak bersikap emosional dan merasa bahwa dirinya yang benar sedangkan murid harus mengikuti aturannya. Kegiatan ini seeing dikenal sebagai segitiga restitusi yang dapat dilihat pada gambar berikut.
Implementasi kegiatan segitiga restitusi disekolah.
Dengan menerapkan budaya positif dapat membuat lingkungan kelas / Sekolah menjadi lebih aman, nyaman dan kondusif.
DAFTAR PUSTAKA KHD. 1936. Dasar-dasar Pendidikan, Hal 1 Paragraf 5.Gossen, D. 2004. Restructuring School Discipline.